- Kategori : Entrepreneurship
- Monday, 23 July 2012 04:44
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Dalam
bulan Ramadhan ini kita dilatih melalui rasa lapar dan dahaga untuk
mencapai derajat takwa (QS 2 : 183). Salah satu indikator tercapai
tidaknya derajat takwa itu dapat terlihat dari mau tidaknya kita berbagi
sebagian harta kita untuk orang miskin yang meminta maupun yang tidak
meminta (QS 51 :19). Tetapi takwa bukan hanya pada bulan
Ramadhan, berbagi juga bukan hanya di bulan Ramadhan. Di jaman modern
ini masih ada 1 milyar penduduk bumi yang terpaksa ‘berpuasa’ kelaparan
sepanjang tahun, karena makanan mereka dirampas oleh si kaya antara lain
melalui proses yang disebut biopiracy (pembajakan hayati).
Lantas siapa yang mau dan bisa ‘berbagi’ untuk menyelamatkan 1 milyar
umat manusia yang lagi kelaparan di bumi ini ?
Tugas
untuk membangun kemakmuran dan menyelamatkan manusia dari kelaparan itu
diamanatkan oleh Allah kepada kita, kitalah yang dimaksud olehNya dalam
ayat “…Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya..” (QS 11:61). Dia pula yang telah menujuki kita jalan yang mendaki lagi sukar, untuk “…memberi makan di hari kelaparan” (QS 90 : 10-17).
Untuk
bisa melaksanakan fungsi-fungsi memakmurkan bumi dengan minimal memberi
makan yang cukup bagi penghuninya tersebut, lebih dahulu tentu kita
harus tahu medan yang kita hadapi saat ini. Kita harus bisa memetakan
masalahnya, kemudian mampu membangun strategy untuk implementasi
solusinya.
Masalah
pertama sebenarnya sudah diakui oleh pemimpin-pemimpin dunia yang
tergabung dalam pertemuan tingkat tinggi Rio+20 bulan lalu. Bahwa
pertumbuhan ekonomi dunia saat ini tersandera oleh apa yang disebut progress trap, ekonomi hanya tumbuh dengan mengorbankan kesinambungan kehidupan di muka bumi itu. Ekonomi hanya tumbuh melalui pengrusakan alam, menyedot sumber daya yang non renewable, dan menyedot sumber daya yang renewable
melebihi kapasitas pembentukannya. Para pemimpin dunia sudah
berkomitmen – meskipun entah diaplikasikan atau tidak – untuk merubah
arah dan mencanangkan apa yang mereka sebut sustainable growth – pertumbuhan yang berkesinambungan.
Tetapi
di luar masalah pertama yang telah diakui bersama tersebut,
sesungguhnya ada ketimpangan yang luar biasa yang tidak diakui oleh
negara-negara maju. Ketimpangan itu adalah ketika negara-negara maju
mematenkan tanpa hak kekayaan hayati negara-negara berkembang.
Pembajakan hayati atau yang dikenal sebagai biopiracy ini dilakukan oleh negara maju dengan menggunakan instrumen Trade Related Intellectual Property (TRIP) dan dengan wadah World Trade Organization (WTO).
Melalui
TRIP inilah misalnya padi-padi yang ditanam oleh rakyat India secara
turun-temurun, tiba-tiba dipatenkan oleh sebuah perusahaan di Amerika.
Nantinya rakyat India harus membeli benih padi dari perusahaan yang
memiliki hak paten ini. Melalui cara yang sama, Brazil yang setara
dengan Indonesia dalam hal ke aneka-ragaman hayati (biodiversity) –
ternyata telah kehilangan Intellectual Property Right
(IPR) –nya untuk setidaknya separuh dari 55,000 species tanamannya.
Siapa yang menguasai IPR-nya sekarang ?, mereka adalah
perusahaan-perusahaan multinasional raksasa.
Apakah hal yang
sama juga terjadi di Indonesia ?, Hanya Allah Yang Maha Tahu, Saya
tidak tahu siapa di negeri ini yang memperjuangkan agar keahlian
turun-temurun rakyat negeri ini dalam bercocok tanam, mengolah hasil
bumi tidak tiba-tiba dipatenkan orang di negeri lain. Indikasi ke arah
sana sudah banyak, hanya siapa yang akan berteriak untuk menghentikannya
?.
Gejala biopiracy
ini adalah bila petani kita mulai harus membeli bibit setiap kali mau
menanam. Bibit-bibit yang diciptakan Allah untuk sebagian dimakan dan
sebagian lagi disimpan untuk bisa ditanam kembali – dirusak kemampuan
tumbuhnya, kemudian melalui instrument IPR petani di seluruh dunia harus
membeli bibit pada segelintir multinasional pemegang IPR tersebut
setiap kali mau menanam kembali.
Dampak dari pembajakan hayati ini adalah pangan menjadi mahal dan akses terhadap benih menjadi hak prerogative segelintir orang saja.
Bumi yang seharusnya menyediakan pangan cukup bagi semua penghuninya
menjadi daerah ‘jajahan’ para kolinialis modern dengan IPR-nya.
Lebih
dari 1400 tahun lalu sebenarnya kita sudah dingatkan oleh Allah akan
adanya keserakahan yang luar biasa ini melalui kisah Nabi Daud ‘Alaihi
Salam – ketika ada dua orang bersengketa, yang satu sudah memiliki 99
ekor kambing, tetapi masih bisa meminta satu-satunya kambing milik
saudaranya melalui perdebatan. (QS 28 : 22-24)
Kita
juga diingatkan akan adanya kelompok manusia yang ucapannya menakjubkan
kita, tetapi kemudian berbuat kerusakan di muka bumi dengan merusak
tanam-tanaman dan keturunannya. (QS 2 : 204-205)
‘Perdebatan’
dan ‘ucapan yang menakjubkan’ untuk merampas hak si miskin oleh si kaya
di jaman ini tampil dalam berbagai bentuknya, bisa yang namanya pasar
bebas, bisa Intellectual Property Right,
bisa WTO , bisa iklan, bisa berita di televisi dan media-media yang
dikuasai mereka – pendek kata segala cara yang dilakukan manusia serakah
modern untuk mengambil ‘kambing’ satu-satunya milik si miskin untuk di
tambahkan dengan segudang ‘kambing’ milik si kaya.
Kita mungkin telat mengantisipasi adanya biopiracy
global yang kini sedang gencar memperebutkan kekuasaan atas pangan di
muka bumi ini, kita mungkin juga telat memahami kabar-kabar dan
peringatan-peringatan di Al-Qur’an karena kurang mentadaburinya – tetapi
tidak ada kata terlambat untuk mulai berbuat, dari yang kita tahu dan
mulai dari yang kita bisa – insyaAllah Dia nanti yang akan memberitahu
kita apa yang kita belum tahu, dan menuntun kita pada apa yang kita
belum bisa. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar